Kamis, 23 Agustus 2007
The 1st Love ... Typhography
Huruf pasti pernah merupakan salah satu cinta pertama para desainer grafis. Ciri khusus dari desain grafis (dalam pengertian saat ini kira-kira mencakup : design for print, design for screen, and design for signage) justru adalah kehadiran huruf sebagai salah satu komponennya yang terpenting. Karenanya, ketika orang mempelajari sejarah grafis atau komunikasi visual, maka fokus kajiannya adalah tentu saja mengarah kepada perkembangan penggunaan gambar dan huruf (images and texts) sepanjang peradaban manusia hingga saat ini. Dalam sejarah tersebut akan tergambar bagaimana huruf menjadi cinta pertama para komunikator visual, mulai dari manusia prasejareah yang menorehkan piktografi, ideografi, ataupun tanda pengingat (mnemonic) di atas batu, orang Sumeria yang menulis cuneiform dengan stylus-nya di atas tablet tanah liat, sampai desainer saat ini yang menuliskan stylus-nya di atas tablet digital.
Kekuatan huruf adalah kemampuannya untuk merekam bahasa verbal manusia dalam bentuk visual, dengan kualitas ketepatan objektif (objective accuracy) serta kualitas ekspresif yang sangat tinggi. Kedua kualitas itulah yang menyebabkan ribuan jenis font kini hadir dan harus tampil pada layar perangkat digital. Orang lupa bahwa para pencipta huruf seperti Aldus Manutius, Garamond, Jan Tschichold, Adrian Frutiger, Paul Renner, Max Miedinger, bekerja dengan pensil, kuas, paser dan mistar untuk melahirkan karya-karya besarnya. Namun sekarang dengan mudahnya ribuan fonts – artinya warisan peradaban itu, bisa kita lihat di layar monitor kita. Rupanya dalam hal huruf inilah, ternyata teknologi telah tunduk, atau paling tidak telah mengakomodasi karya-karya seni manusia. tentu saja semua itu berkat cybernetics serendipity-nya MIT, Silicon Valley, Xerox, Steve Jobs, Bill Gates dan lainnya.
Dulu ketika masih belajar Tipografi sekitar tahun 1980-an ( tepatnya mulai 1983 ), dengan adanya komputer saya mengira semua typefaces itu akan lenyap digantikan hanya oleh MICR (magnetic ink character recognition). Alangkah naifnya saya, karena MICR kini juga hanya dianggap sebuah typefaces saja dari ribuan karya manusia sepanjang peradaban itu.
Dengan gambaran di atas, sebenarnya dalam era revolusi digital ini kita tidak layak lagi terus-menerus menyerukan ”Goodbye Gutenberg” (ini merupakan judul buku yang terbit tahun 1980-an), namun sebaliknya, rupanya kita harus menyerukan ”Hello again Gutenberg” karena ternyata kita masih terlibat dalam imbas pusaran ”The Gutenberg Galaxy” seperti yang dideskripsikan McLuhan. Kita masih dalam proses pembentukan manusia tipografi (the making of typographic man), karena dengan segala intensi, kita masih menciptakan, memilih, menyusun dan mereka-reka huruf, baik ketika kita secara profesional melakukan pekerjaan desain, maupun ketika dalam kehidupan sehari-hari menyusun kalimat SMS kita pada layar handphone atau PDA. Bukankah, mencari-cari dan menyusun begitu banyaknya typefaces, barangkali akan tak banyak artinya bagi mereka yang tidak mau memahami keberadaannya. Tapi kita juga maklum bahwa memahami huruf, memang cukup merepotkan. Jauh akan lebih mudah ketika kita tinggal memilih saja salah satu diantaranya untuk digunakan daripada harus memahaminya, kemudian menggunakannya semata-mata karena alasan fungsional, estetis, atau bahkan untuk kedua alasan tersebut sekaligus.
Sekalipun demikian bagi mereka yang cukup serius mempelajari huruf, maka harus coba dipahami pada dua arah metodik, yaitu :
1. Sinkronis, berupa penelaahan huruf berdasarkan anatominya, tata susunnya dan tentu saja upaya pengelompokkannya (klasifikasi), serta
2. diakronis, berupa kajian lewat riwayat penciptaan dan perkembangan huruf, agar kita mampu memahami kehadiran sebuah wajah huruf serta perasaan jaman (zeitgeist) yang melatarbelakangi penciptaannya.

Orang kita memang sembarangan ketika berurusan dengan huruf. Menurut sumber saya, yang seorang pensiunan pejabat Depdikbud (sekarang kalo tidak salah diknas), Dirjen Dikdasmen pada awal 1980-an pernah mengeluarkan keputusan babon huruf tulis untuk diajarkan kepada anak-anak seklah dasar. Dan huruf tulis yang diajarkan di sekolah dasar itu sangat aneh, karena beberapa majuscule-nya adalah huruf minuscule yang dibesarkan. Belum lagi kekeliruan anatomisnya. Konon, sumber saya itu pernah suatu ketika sudah menyampaikan koreksinya, namun keputusan itu tetap berlaku karena apa yang sudah diketukkan palunya, tidak bisa dicungkil lagi pakunya. Namun demikian kita juga harus angkat topi untuk Diknas yang konon telah dua kali meneliti legibilitas huruf untuk keperluan buku ajar anak-anak sekolah.
Untuk semua kekurangan kita dalam memperlakukan huruf, termasuk ketidakmautahuan (ignorance), pengetahuan yang tanggung (mediocrity), rupanya kita harus belajar banyak dalam dunia huruf ini. Namun, memang tidak akan banyak orang yang mau melakukannya, karena industrinya di Indonesia tidak ada, atau karena tidak ada duitnya, atau karena lebih sibuk mengurusi kurikulum, atau yang paling mendasar adalah di Indonesia tidak ada samasekali asosiasi tipografi, misalnya. Maka semua itu hanyalah tinggal mimpi saja, atau akan tetapkah kita mengajarkan huruf dengan klasifikasi yang diajarkan kepada anak-anak SMP, yaitu hanya ada tiga kelompok huruf : huruf serif, tanpa – serif, dan huruf tulis. Titik.
diposting oleh jeramibiru 13.55.00  
 
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home

JERAMI BIRU

Tentang Saya
Name: jeramibiru
Home: Indonesia
About Me: aktif di desain
See my complete profile
Posting Sebelumnya
Bones
... dari guru ...
Andai Sekolah Gratis ...
Sandal
Reactor Animasi
Pendidikan di Indonesia
New Face
Simpanan
Agustus 2007
September 2007
November 2007
Links
BiNuscenter
BiNusCorner
BC Semarang
Instruktur BCSMG

 

Advertisement

 

About This Blog

This blog is powered by Blogger
Blog designed by Jerami Biru .